Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Selasa, 05 Maret 2013

Secangkir Kopi, Sebatang Rokok dan Pikiran Liar


Secangkir Kopi, Sebatang Rokok dan Pikiran Liar

Secangkir kopi dan sebatang rokok ku lewati hari ini dengan pertanyaan..”adakah cinta untukku untuk esok hari?”.
Sementara asbak rokok sudah mulai penuh dengan belasan batang rokok yang kuhisap semalam, dengan demikian berpuluh puluh lubang bertambah di paru paruku, entahlah bagiku rokok adalah sahabat sejatiku.

Kutengok jendelaku yang kusennya sudah mulai lapuk, penjaja keliling sudah mulai bertarung dengan dingin malam, hanya untuk mengejar rupiah untuk menghidupi keluarganya.

Sementara...
Seperempat abad bukan waktu yang singkat. Cerita atau lebih mendekat pada sebuah legenda, terjadi dengan haluan yang tidak jelas akan kemana menepi. Kehidupanku seperti angin tak dapat kulihat bagaimana bentuk rupanya karena sampai sekarang ini aku belum melihat titik kemana kaki hidupku akan melangkah, setidaknya aku masih bisa berharap dan bercita-cita agar hidupku bermakna, paling tidak untuk diriku sendiri terlebih orang-orang yang berada si sekitarku. Kata-kata…aku tak tahu lagi dengan kalimat yang bagaimana kulukiskan perasaanku saat ini, kegamangan, kebingungan, entah perasaan apa lagi yang menari-nari di kepala dan di dadaku. 
Inikah hidup?’ entahlah, kebingungan ini telah menjelma seperti sebuah bom waktu yang memiliki daya ledak yang maha dahsyat dan aku tak tahu kapan itu akan meledak dan bagaimana atau apa yang akan terjadi pasca ledakan itu?. apakah aku akan ikut hancur dan terporak poranda bersamanya atau kebingungan itu sendiri yang akan lenyap untuk selama-lamanya? kuharap begitu.

Hidupku menyerupai sebuah simponi karya kelas jelata, monoton, lebih pada syair-syair yang berisi tentang kesedihan proletarier yang dimarginalkan oleh nasib, yang tercipta oleh kebodohannya sendiri. Aku muak, muak pada kehidupan yang manusia-manusia munafik yang mementingkan cara berbicara ketimbang cara bertindak, juga muak pada sifat yang tidak menghormati hidup orang lain, yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain.

Tubuhku adalah terjemahan dari sebuah hikayat kemanusiaan yang memiliki sebuah kisah tentang perjalanan cinta, sayap-sayap ingatanku masih menyisakan sosok perempuan masa kini yang menjunjung tinggi kesetiaan. Sosok perempuan yang mungkin takkan pernah akan terhapuskan dari ingatanku, sosok yang penuh pesona, bagaikan sekuntum melati yang tersiram ratusan tetes embun pada suatu pagi. Bayangan itu terus menari-nari di depan mataku, namun takdir pula baru-baru ini merenggutnya dariku, beberap hari ini aku masih mencaoba dan terus mencoba untuk menghapus sosok itu, sembari menyusun konsentrasiku untuk menggarap sesuatu yang sudah bertahun-tahun terabaikan, yang merupakan syarat yang pernah diberikannya padaku, uah walaupun dia telah pergi namun aku akan terus menyelesaikan ini, yah... semua yang pernah menjadi janjikan akan tetap ku perjuangkan, serumit apapun itu. Paling tidak sekarang aku ingin memberikan ini kepada orang tuaku yang sudah beranjak semakin tua, paling tidak aku ingin memberikan setitik kebahagiaan kepada mereka.

Sudah gilakah diriku? entah... kucoba rebahkan tubuh penatku diatas tempat tidurku, mencoba bernegosiasi dengan pikiran untuk melupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari ini, ku matikan lampu kamarku namun kegelapan justru mekin memperjelas dan mempertegas kesunyian itu, sebuah sosok seakan melambai mencoba meraihku dan ku ulurkan tanganku coba untuk merengkuh tangannya, namun tanganku tak sampai…terlalu jauh untuk ku raih, sementara aku sudah terlalu payah, oleh keletihan yang amat sangat, terlalu banyak peristiwa-peristiwa yang membuatku ingin segera beranjak darinya. 

Namun aku tetap gelisah, ku miringkan badanku ke arah yang sudah berkali kali pernah ku lakukan, namun sekuat aku berusaha, sekuat itu pula bayangan itu menggangguku, seolah memaksaku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.

Selewat seperempat abad ini banyak hal yang telah tertanam di dalam hati lalu menjelma manjadi sebuah gunungan hasrat yang tiada terlebihi oleh apapun di dunia ini, hasrat itu menginginkan pribadiku tereinkarnasi dalam sebuah pribadi yang sederhana namun memiliki penglihatan setajam elang, pikiran setajam pisau cukur, perabaan atau intuisiku lebih peka dari ubur-ubur, pendengaranku dapat lebih menangkap musik dan ratap tangis kehidupan, supaya aku tidak akan menjadi manusia takabur, manusia yang lupa pada bagaimana dan dimana peradabanya dimulai.

Sementara kakiku semakin letih melangkah, bahuku terlalu berat menanggung beban yang lama menggayut. Yang terkadang membatasi ruang gerakku, namun pikirankulah yang semakin lama semakin jauh melayang mengitari langit-langit batok kepalaku, pikiran tentang sekuntum bunga yang kutemukan pada suatu sore yang tak bernama. Bunga itulah yang tumbuh dan berakar didalam hatiku. Bunga yang aromanya hanya mampu terwakili oleh kembang setaman, dimana bidadari turun dan bermain main didalamnya. Hatiku luluh lantak hanya oleh sekuntum bunga, bunga yang sama sekali tiada berduri, hanya aku sendirilah yang menciptakan duri itu.

Kamar Sunyi sebuah pikiran liar